ARTIKEL

Image

Sejatinya cinta harus menjadi landasan bagi orangtua dalam menjalankan perannya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Negara dan bangsa membutuhkan generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Kecerdasan menjadi bekal dalam memimpin menjadi ‘khalifah’ di muka bumi ini yang bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dan kehidupan alam semesta. Bukankah manusia telah diciptakan dengan Cahaya Cinta dari Yang Maha Pengasih dan Penyayang? Bukankah Nabi Muhammad SAW menebarkan cinta kepada umatnya agar berakhlak mulia dan mencintai Tuhannya, sesamanya, serta alam semesta tempat hidupnya?

Pandangan tauhid terhadap tugas mencerdaskan anak dengan cinta dimulai ketika Ibu dan Ayah bercita-cita memiliki keturunan. Ibu mengandung selama sembilan bulan kemudian menyusui sampai genap dua tahun. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati (qalbu), agar kamu bersyukur’, (QS. An Nahl 16 : 78). “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut … (Al Baqarah 2 : 233).

Orangtua sebagai guru, tentu patut memahami proses menjadi cerdas bagi anak-anaknya. Proses itu bernama belajar. Belajar harus memperhatikan kecerdasan yang secara unik dimiliki oleh masing-masing anak. Cara belajar yang tepat menjadikan kecerdasan melejit lebih cepat. Cara belajar yang kurang/tidak tepat justru akan mematikan kecerdasan. Contoh : Balita (0-6 tahun) cara belajar dengan cinta dan kasih sayang; Anak SD (7-13 tahun) berikanlah tanggung jawab; Remaja SMP/SMA (14-19 tahun) kepercayaan adalah hal utama.

Balita dan anak sangat membutuhkan suasana belajar yang menyenangkan. Belajar harus dengan hari gembira. Maka, orangtua (sebagai guru pertama dan utama bagi anak) harus juga menyenangkan. Bukan menjadi ‘monster’ atau ‘hantu’ yang menakutkan bahkan menakut-nakuti anak. Contoh : “Belajar dong! Nanti bodoh mau jadi apa?”. Atau “Awas nanti Bu guru marah tuh! Kamu kerjakan PR-nya”. Coba kita ganti dengan kalimat positif yang menyenangkan : “De mau jadi anak pintar kan? Bu guru juga Ibu senang loh kalau Ade mau mengerjakan PR” (ingat! sambil senyum yah …). Atau “Yuk! Ibu temani belajar buat besok ulangan. Kaka kan anak shalih …” (sambil luangkan waktu, tidak menyetel TV atau membuat kegaduhan lain).

Mengasuh anak adalah sebuah kesempatan yang berharga dan menyenangkan, dimana kita bisa tumbuh bersama anak-anak kita. Hubungan baik antara kita dengan anak akan terus memotivasi kita agar terus mendorong dan membimbing anak kita menghadapi masa depannya. Dengan membangun komunikasi yang terbuka, kita telah membuat anak kita merasa dia memiliki teman berbagi pikiran dan menanyakan berbagai persoalan yang sulit. Ini penting! Karena kita ingin anak kita tidak lari kepada narkoba, pergaulan bebas, atau perilaku negatif lain akibat dia tidak merasa memiliki orangtua yang menjadi sahabat sejatinya.

Howard Gardner : Kecerdasan menurut nya, merupakan kemampuan untuk menangkap situasi baru serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu seseorang. Kecerdasan bergantung pada konteks, tugas serta tuntutan yang diajukan oleh kehidupan kita, dan bukan tergantung pada nila IQ, gelar perguruan tinggi atau reputasi bergengsi.

Kecerdasan Ganda (Multiple Intelegencies / MI) : (1) Linguistik; (2) Matematis-Logis; (3) Ruang-Spasial; (4) Kinestetik-Badani; (5) Musik; (6) Interpersonal; (7) Intrapersonal; (8) Lingkungan-Naturalis; (9) Eksistensial-Spiritual;

Sejarah mencatat betapa cinta ibunda Nabi Ibrahim, AS telah memberikan motovasi bagi Ibrahim kecil. Masa kecil di sebuah gua di tengah hutan mengantarkan Ibrahim menemukan Tuhan yang Maha Pencipta. Tiada satupun yang patut di sembah selain Allah SWT. Ibrahim pun berani menantang resiko berdakwah kepada ayah dan raja Namrud. Itulah cinta Ibu yang mencerdaskan. Begitu pula cinta Asiah istri Firaun yang mendampingi Nabi Musa, AS semasa kecil. Kasih sayangnya menembus batas kesenangan dunia sebagai istri raja. Asiah telah mengantarkan Musa menjadi pemimpin kaumnya dan berani menentang kedzaliman Firaun.

Pentingnya peran ayah dalam proses mencerdaskan anak dengan cinta. Mari belajar pada Ayah para Nabi, Ibrahim AS. Juga kepada teladan umat Rasulullah SAW. Al Quran menggambarkan bagaimana Lukman AS berusaha mencedaskan anaknya dengan penuh cinta : “(Lukman berkata) : ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha halus lagi Maha Mengetahui. ‘Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). ‘Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkung. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Lukman 31 : 16-18). Mereka para Nabi dan Rasul, tidak meninggalkan perannya sebagai Ayah, walau menyandang risalah begitu berat menyebarkan tauhid kepada umatnya. Di rumah, mereka adalah ayah yang penuh cinta, hangat, ramah, penyanyang, dan mau bersama-sama Ibu mendidik dan mengasuh anak-anaknya.

Allah SWT berfirman, “(Tuhan) Yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (Ar Rahman 55 : 1-4). “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al Alaq 96 : 1-5). Firman ini seharusnya memberikan motivasi kuat kepada orangtua agar memfasilitasi anak-anaknya cinta membaca. Al Quran adalah bacaan yang mulia. Bacakanlah setiap hari satu atau beberapa ayat Al Quran kepada anak-anak (bila mereka belum mampu membaca). Bila anak-anak telah mampu membaca, alangkah indahnya bila membaca bersama lalu dibaca pula artinya. Bila telah mampu membaca tafsirnya, maka alangkah menyenangkannya bila anak-anak mampu menjelaskan makna dari Al Quran.

Tentu, membaca buku ilmu pengetahuan lain adalah penting. Yakinlah! membaca adalah membuka jendela dunia dan membuka pintu menuju surga-Nya, amin …